Komunitas Disabilitas Desak Revisi UU Fasilitas Publik Inklusif: Aksesibilitas Bukan Sekadar Simbol
Pembukaan: Ketika Keterbatasan Fisik Menjadi Penghalang Partisipasi Penuh
Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa semua warganya, termasuk penyandang disabilitas, dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, realita di lapangan seringkali menunjukkan kesenjangan yang lebar antara idealisme dan implementasi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, beserta peraturan turunannya, seharusnya menjadi payung hukum yang melindungi dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak atas aksesibilitas. Sayangnya, implementasi UU tersebut, khususnya terkait fasilitas publik inklusif, masih jauh dari memuaskan.
Komunitas disabilitas di Indonesia kini semakin lantang menyuarakan tuntutan revisi terhadap Undang-Undang yang mengatur fasilitas publik inklusif. Mereka berpendapat bahwa regulasi yang ada masih belum cukup kuat untuk menjamin hak-hak mereka atas aksesibilitas yang setara. Desakan ini bukan tanpa alasan. Banyak fasilitas publik, mulai dari transportasi, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hingga tempat ibadah, masih belum ramah disabilitas. Akibatnya, penyandang disabilitas seringkali menghadapi hambatan fisik dan sosial yang signifikan, menghalangi mereka untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan.
Isi: Akar Permasalahan dan Tuntutan Komunitas Disabilitas
Mengapa revisi UU fasilitas publik inklusif menjadi begitu penting? Berikut beberapa akar permasalahan yang mendasari tuntutan komunitas disabilitas:
-
Definisi Aksesibilitas yang Terlalu Luas dan Ambigu: UU yang ada seringkali menggunakan definisi aksesibilitas yang terlalu luas dan ambigu, sehingga membuka celah bagi interpretasi yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan implementasi yang tidak konsisten dan standar yang bervariasi. Misalnya, ketersediaan "rambu-rambu" untuk penyandang disabilitas visual bisa diartikan hanya dengan adanya satu atau dua plang berhuruf braille, tanpa mempertimbangkan penempatan yang strategis dan mudah diakses.
-
Kurangnya Standar Teknis yang Jelas dan Terukur: Standar teknis yang mengatur desain dan konstruksi fasilitas publik inklusif seringkali tidak jelas, terukur, dan tidak sesuai dengan kebutuhan riil penyandang disabilitas. Akibatnya, banyak fasilitas yang dibangun secara asal-asalan, tanpa memperhatikan aspek-aspek penting seperti kemiringan ramp, lebar pintu, tinggi tombol lift, dan lain sebagainya.
-
Lemahnya Penegakan Hukum dan Sanksi: Penegakan hukum terhadap pelanggaran UU fasilitas publik inklusif masih sangat lemah. Sanksi yang diberikan kepada pihak-pihak yang lalai menyediakan fasilitas yang ramah disabilitas seringkali tidak memberikan efek jera. Hal ini menyebabkan banyak pengelola fasilitas publik mengabaikan kewajiban mereka.
-
Minimnya Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Proses Perencanaan dan Pengawasan: Proses perencanaan, desain, dan pengawasan pembangunan fasilitas publik seringkali tidak melibatkan penyandang disabilitas secara aktif. Akibatnya, fasilitas yang dibangun tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka.
-
Mentalitas "Simbolis" dan Bukan "Substantif": Banyak fasilitas publik yang menyediakan fasilitas inklusif hanya sebagai simbol, tanpa mempertimbangkan fungsionalitas dan efektivitasnya. Misalnya, keberadaan ramp yang terlalu curam dan berbahaya untuk digunakan, atau toilet khusus disabilitas yang sempit dan sulit diakses.
Tuntutan Konkret Komunitas Disabilitas
Untuk mengatasi permasalahan di atas, komunitas disabilitas mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU fasilitas publik inklusif dengan poin-poin berikut:
-
Memperjelas Definisi Aksesibilitas: Definisi aksesibilitas harus diperjelas dan dipersempit, dengan merujuk pada standar internasional dan best practices yang telah teruji.
-
Menetapkan Standar Teknis yang Detail dan Terukur: Standar teknis yang mengatur desain dan konstruksi fasilitas publik inklusif harus ditetapkan secara detail, terukur, dan sesuai dengan kebutuhan riil penyandang disabilitas. Standar ini harus mencakup aspek-aspek seperti:
- Kemiringan dan lebar ramp
- Lebar dan tinggi pintu
- Tinggi tombol lift dan saklar lampu
- Ketersediaan toilet khusus disabilitas yang memenuhi standar
- Ketersediaan petunjuk arah yang jelas dan mudah dibaca (termasuk huruf braille dan simbol)
- Ketersediaan area parkir khusus disabilitas yang dekat dengan pintu masuk
- Ketersediaan aksesibilitas pada transportasi umum (bus, kereta api, pesawat terbang)
- Ketersediaan informasi dalam format yang aksesibel (misalnya, teks alternatif untuk gambar, subtitle untuk video)
-
Memperkuat Penegakan Hukum dan Sanksi: Penegakan hukum terhadap pelanggaran UU fasilitas publik inklusif harus diperkuat, dengan memberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera. Sanksi dapat berupa denda, pencabutan izin usaha, atau bahkan tuntutan pidana.
-
Meningkatkan Partisipasi Penyandang Disabilitas: Penyandang disabilitas harus dilibatkan secara aktif dalam seluruh proses perencanaan, desain, pembangunan, dan pengawasan fasilitas publik inklusif. Keterlibatan ini dapat dilakukan melalui konsultasi publik, focus group discussion, atau pembentukan tim ahli yang terdiri dari perwakilan komunitas disabilitas.
-
Meningkatkan Kesadaran dan Edukasi: Pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang pentingnya fasilitas publik inklusif. Edukasi ini dapat dilakukan melalui kampanye publik, pelatihan bagi arsitek dan insinyur, serta kurikulum pendidikan yang inklusif.
Data dan Fakta Pendukung
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, terdapat sekitar 16,5 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Jumlah ini menunjukkan bahwa isu aksesibilitas bukan hanya masalah minoritas, tetapi merupakan masalah yang signifikan dan berdampak pada jutaan orang.
Survei yang dilakukan oleh organisasi disabilitas menunjukkan bahwa:
- Lebih dari 70% penyandang disabilitas mengalami kesulitan mengakses transportasi umum.
- Lebih dari 60% penyandang disabilitas kesulitan mengakses gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan.
- Lebih dari 50% penyandang disabilitas kesulitan mengakses tempat ibadah.
Kutipan dari perwakilan komunitas disabilitas: "Kami tidak meminta perlakuan khusus, kami hanya meminta hak yang sama. Aksesibilitas bukan sekadar simbol, tetapi kunci untuk membuka pintu partisipasi penuh bagi penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat."
Penutup: Menuju Indonesia Inklusif dan Ramah Disabilitas
Desakan revisi UU fasilitas publik inklusif merupakan momentum penting untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif dan ramah disabilitas. Pemerintah dan DPR harus merespons tuntutan ini dengan serius dan segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki regulasi dan implementasinya. Aksesibilitas bukan hanya tentang membangun ramp atau menyediakan toilet khusus, tetapi tentang menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua orang, tanpa terkecuali, dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat, berpendidikan, bekerja, dan menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara. Dengan revisi UU yang komprehensif dan implementasi yang efektif, kita dapat membangun masa depan yang lebih inklusif dan adil bagi semua. Mari kita jadikan aksesibilitas bukan hanya sekadar simbol, tetapi sebuah realitas yang dirasakan oleh setiap penyandang disabilitas di Indonesia.